Thursday, July 13, 2023

Polemik Penyaluran Bantuan Sosial

 JUDUL = POLEMIK PENYALURAN BANTUAN SOSIAL BELUM USAI


LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN


Tahun 202x merupakan awal mula kemunculan wabah virus jenis baru yaitu corona virus (SARS-CoV-2) serta penyakitnya yang dinamakan corona virus disease 202x (COVID-19). Semenjak itu, wabah tersebut semakin menyebar dan berkembang di seluruh penjuru negara termasuk Indonesia. Di Indonesia kasus virus corona pertama kali terjadi pada awal bulan Maret 202y dan penyebarannya terus meluas. Merujuk informasi dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19, terkonfirmasi bahwa jumlah pasien positif terkena COVID-19 per tanggal 29 Maret 202z yakni 743.198 pasien. Sebanyak 82.25% atau 611.097 pasien dinyatakan sembuh dan 22.138 pasien atau 2.97% terkonfirmasi meninggal. Penyebaran wabah COVID-19 mengakibatkan efek domino bagi semua  sektor yang berawal dari persoalan  kesehatan ke persoalan sosial,  ekonomi,  hingga  politik.  Hasil  pengamatan  Lembaga  Ilmu  Pengetahuan Indonesia  (LIPI)  kepada  1.548  responden  yang  tersebar  di  32  provinsi, mengungkapkan lebih dari 50 persen responden menghadapi kesulitan keuangan imbas dari pandemi COVID-19. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diimplementasikan pemerintah dalam upaya percepatan penanganan COVID-19 menjadi salah satu faktor perlambatan laju ekonomi selama pandemi berlangsung. Ruang gerak masyarakat yang dipersempit dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari berdampak  pada  pemenuhan  kebutuhan  hidup.  Meskipun  demikian, physical distancing yang  diterapkan  pemerintah  bukanlah  tanpa  alasan.  Dengan  semakin banyak masyarakat yang tetap tinggal di rumah, maka akan mengurangi penularan wabah  COVID-19  secara  masif  (Lestary  et  al,  202y).  Pemerintah  Indonesia melaksanakan berbagai upaya untuk menghadapi pandemi, salah satunya dengan diterbitkanya Perppu Nomor 1 Tahun 202y untuk memberi landasan hukum bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah luar biasa atau extraordinary akibat pandemi COVID-19. Langkah-langkah tersebut diterapkan di bidang keuangan negara  dan  sektor  keuangan  dalam  upaya penanganan  krisis  kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan.


Pembagian bantuan sosial yang diberikan pemerintah untuk masyarakat Indonesia bukanlah  suatu  hal  baru.  Beragam  skema  bantuan  sosial  serta  subsidi  telah dilaksanakan pemerintah untuk mencukupi hak dasar, meringankan tanggungan, dan memperbaiki tingkat hidup warga negara yang kurang berkecukupan. Hal ini sejalan dengan teori welfare state, merujuk dari Alfitri (2012) konsep welfare state dalam Encyclopedia Britannica yakni terkait tanggung jawab negara sebagai garda terdepan dalam melindungi serta memakmurkan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyatnya.  



Permasalahan penyaluran Bansos di tahun 202


Mengutip  Tim  Nasional  Percepatan  Penanggulangan  Kemiskinan  (202y) bahwasanya, selama ini kendala yang sering terjadi dalam skema bantuan sosial ialah ketidaktepatan  target  penerima  bantuan.  Santoso  et  al  (202x)  memaparkan ketidaktepatan target penerima acapkali ditemui saat mendistribusikan bantuan ke lapangan.  Lebih  lanjut  Mufidah  (202y)  menyatakan  bahwa  beraneka  ragam  jenis bantuan sosial yang diadakan Pemerintah Pusat dan alur administrasi penyaluran bantuan sosial yang memusingkan membuahkan kekacauan seperti kesimpangsiuran 

informasi akan akses penerimaan bantuan sosial yang beredar di masyarakat. Tidak hanya  itu,  klasifikasi  yang  tidak  sesuai  dengan  target  dan  jangka  waktu pendistribusian  bansos  yang  tidak  serempak  menjadi permasalahan yang tidak kunjung berakhir.  Bantuan sosial sepanjang pandemi COVID-19 berlangsung juga belum merangkul kelompok masyarakat yang sebelum adanya pandemi termasuk golongan masyarakat mampu, namun saat terjadi pandemi harus kehilangan penghasilan hingga kehilangan pekerjaannya (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 202y). Menteri Keuangan  menekankan  terdapat  empat  sektor  yang  paling  terguncang  dampak pandemi COVID-19, yakni bidang rumah tangga, karyawan lepas, UMKM, dan perusahaan atau badan usaha. Dari beberapa sektor tersebut, karyawanlah yang paling sensitif untuk kehilangan penghasilannya.  Pemerintah  memiliki  beberapa  kebijakan  untuk  melindungi  perekonomian  rakyat melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk penanganan pandemi Covid-19  (Sugiarto,  202y).  Tak  hanya  berfokus  pada  pemberian  sembako  saja, bersama Kementerian Keuangan pemerintah pusat menciptakan sejumlah skema JPS  atau Social  Safety (Adhiyasa,  202y). Bersumber  dari  Badan  Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah pusat telah mengerahkan berbagai bentuk  dan  jenis  kebijakan  bantuan  sosial  dalam  upaya  menyelamatkan ketahanan ekonomi masyarakat dalam menghadapi kondisi pandemi meliputi: (1) Program Keluarga Harapan (PKH); (2) Bantuan Sosial Tunai; (3)  Bantuan  Langsung  Tunai  Dana  Desa  (BLT  Dana  Desa);  (4)  Bantuan  Sosial Sembako (BSS) untuk Wilayah Jabodetabek; (5) Kartu prakerja; (6) Kartu sembako; dan  (7) Subsidi listrik.


Adapun daftar hasil pemetaan permasalahan yang terjadi adalah (1) Pungutan Liar (Pungli) terjadi pada PKH dan BLT Dana Desa; (2) Tidak tepat sasaran terjadi pada PKH, Bantuan Sosial Tunai, BLT Dana Desa dan subsidi listrik; (3) Nominal atau jumlah bantuan kecil terjadi pada PKH, Sembako dan Kartu Pra Kerja; (4) Tumpang tindih data terjadi pada Bantuan SOsial Tunai dan Kartu Sembako; (5) Distribusi terhambat terjadi pada Bantuan SOsial Tunai; (6) Politisasi terjadi pada BLT Dana Desa; (7) Kualitas bantuan rendah terjadi pada Sembako; (8) Penyalah-gunaan dana terjadi pada Sembako; (9) Insentif tidak cair terjadi pada Kartu Pra Kerja; (10) Human error terjadi pada Kartu Sembako; (11) Karakteristik permasalahan lainnya terjadi pada SUbsidi listrik; dan (12) Jenis bantuan tidak tepat terjadi pada subsidi listrik.


Berdasarkan  hasil  pemetaan  pada  Tabel  di  atas,  teridentifikasi  ketidaktepatan sasaran menjadi permasalahan utama yang sering muncul di hampir setiap program bantuan  sosial  yang  diberikan  pemerintah.  Ketidaktepatan  sasaran  disebabkan karena  data  yang  tidak  terupdate secara  rutin  baik  di  tingkat  daerah  maupun pemerintah  pusat.  Sejalan  dengan  hal  tersebut,  merujuk  hasil  riset  Saiful  Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dilaksanakan per tanggal 5 s.d. 6 Mei 202y, diketahui  49%  responden  menilai  bantuan  sosial  masih  belum  tepat  sasaran. Sementara hanya 37% responden yang menilai bansos pemerintah sudah mencapai sasaran. Data tersebut menunjukan bantuan sosial yang disalurkan pemerintah untuk penanganan COVID-19 di Indonesia belum berjalan dengan maksimal.  


Alasan responden menilai bansos COVID-19 tidak tepat sasaran adalah (1) Ada yang berhak namun belum menerima sebanyak 60%; (2) Bantuan sosial diberikan kepada yang tidak berhak sebanyak 29%; (3) Besaran bantuan sosial yang diberikan terlalu kecil dari seharusnya sebanyak 4%; (4) Permasalahan lainnya sebanyak 5%; dan (6) Tidak menjawab sebanyak 2%.


Sejalan dengan survei SMRC, hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dimulai  dari  2  Juni  hingga  31  Agustus  202y  mendeteksi  beberapa  kendala  dan presumsi penggelapan bansos COVID-19 yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebagai mana berikut : (1) Pemotongan atau Pungli 19,25%; (2) Inclusion error 17,99%; (3) Bantuan tidak didapatkan Warga 9,62%; (4)Tumpang tindih bantuan 8,79%; (5) Pendistribusian bantuan terhambat 4,60%; (6) Politisasi 3,77%; (7) Kulaitas sembako tidak memenuhi syarat 0,84%; (8) Penyalahgunaan lainnya 16,32% dan; (9) Non penyalahgunaan 18,82%. 



Permasalahan penyaluran Bansos di tahun 202z


Bantuan Sosial tetap digulirkan bagi Masyarakat Terdampak PPKM PPKM Level 4 yang berlaku mulai 26 Juli sampai dengan 2 Agustus 202z, dan membawa perbaikan pada  ratarata  harian  indikator  pengendalian  COVID-19  di  tingkat  nasional dibandingkan pada PPKM periode sebelumnya (ekon.go.id, 2 Agustus 202z). Namun melihat situasi saat ini sangat dinamis dan indikator tersebut masih fluktuatif, maka pemerintah  memutuskan  untuk  melanjutkan  PPKM  hingga  16  Agustus  202z  di beberapa  kabupaten/kota  tertentu  dengan  penyesuaian  pengaturan  aktivitas  dan mobilitas masyarakat sesuai kondisi masing-masing daerah. Kebijakan perpanjangan PPKM Level 4 diikuti dengan percepatan penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Sejak penerapan PPKM Level 4 pemerintah telah menyalurkan delapan jenis bantuan sosial, yaitu: 1) Kartu Sembako, pemerintah menambah manfaat  Kartu  Sembako  sebesar  Rp200.000  selama  dua  bulan  untuk  18,8  juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM); 2) BST yang diperpanjang penyalurannya dua bulan, yakni Mei-Juni untuk 10 juta KPM; 3) Subsidi kuota internet bagi pelajar dan tenaga pendidik dilanjutkan hingga akhir tahun 202z; 4) Diskon listrik dan bantuan rekening minimum biaya beban/abonemen selama tiga bulan (Oktober-Desember); 5) Kartu  Prakerja  dan  bantuan  subsidi  upah  bagi  pekerja  yang  tercatat  di  BPJS Ketenagakerjaan; 6) Bantuan beras; 7) BLT Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); dan 8) Bantuan untuk pengusaha berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sewa toko di pusat perbelanjaan atau mal (kompas.com, 26 Juli 202z). 


Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah, selain bantuan sosial, pemerintah juga memberikan bantuan sosial ekstra bagi masyarakat terdampak PPKM seperti BST dan  Bantuan  Beras.    Namun  penyaluran  bantuan  sosial  masih  menghadapi permasalahan sehingga muncul tuntutan untuk memperbaiki sistem penyalurannya. Ketidakakuratan data selalu menjadi persoalan klasik di setiap penyaluran bantuan sosial.  Sumber  daya  pendukung  juga  belum  mampu  beradaptasi  dengan  situasi pandemi COVID-19.  Koordinasi antar lembaga dan pengawasan penyaluran bantuan sosial  masih  lemah  sehingga  membuka  celah  korupsi.    Dampak  lain  dari ketidakvalidan data penerima bansos terungkap warga menemukan penerima bansos yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat menerima bansos. Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan  lebih  membutuhkan  bantuan  justru  luput  dari  penyaluran bansos (exclusion error). 


Kementerian Sosial (Kemensos) pada saat itu menyebut bahwa kesemrawutan data penerima  bansos  dikarenakan  Data  Terpadu  Kesejahteraan  Sosial  (DTKS)  yang menjadi acuan penyaluran bansos belum dimutakhirkan sejak 2017. Problem lain, pemerintah kabupaten/kota juga tak disiplin dalam melakukan verifikasi dan validasi secara reguler. 


Masalah pendataan bansos diperparah dengan terjadinya korupsi, bahwa bansos yang  selayaknya  untuk  membantu  warga  miskin  justru  menjadi  sasaran  korupsi sejumlah pejabat di Kemensos, begitu pula sampai tahun 202z bulan agustus masih ada kasus pemotongan dana bantuan sosial bagi masyarakat terdampak PPKM. Di Kelurahan diwilayah jabodetabek sejumlah warga RW 05 melaporkan Bantuan Sosial Tunai (BST) yang diterima telah dipotong Rp50.000, Demikian juga di Kelurahan lainnya, warga melaporkan dugaan pemotongan BST mencapai ratusan ribu rupiah yang dilakukan pengurus lingkungan (liputan6.com, 5 Agustus 202z). Begitu juga yang terjadi di Ibukota di RT 007/RW 010. Menteri Koordinator PMK menemukan masalah penyaluran bansos yang tidak merata, banyak warga di wilayah tersebut memerlukan bansos dan sangat layak mendapatkan bantuan sosial, tetapi belum mendapatkan bansos reguler. Selain itu, ada beberapa warga telah memiliki Kartu Kesejahteraan Keluarga (KKS), tetapi sejak awal tahun mengatakan bantuannya tidak ada lagi.

No comments:

Post a Comment