JUDUL = POLEMIK PENYALURAN BANTUAN SOSIAL BELUM USAI
LATAR BELAKANG DAN PERMASALAHAN
Tahun 202x merupakan awal mula kemunculan wabah virus jenis baru yaitu corona virus (SARS-CoV-2) serta penyakitnya yang dinamakan corona virus disease 202x (COVID-19). Semenjak itu, wabah tersebut semakin menyebar dan berkembang di seluruh penjuru negara termasuk Indonesia. Di Indonesia kasus virus corona pertama kali terjadi pada awal bulan Maret 202y dan penyebarannya terus meluas. Merujuk informasi dari Satuan Tugas Penanganan COVID-19, terkonfirmasi bahwa jumlah pasien positif terkena COVID-19 per tanggal 29 Maret 202z yakni 743.198 pasien. Sebanyak 82.25% atau 611.097 pasien dinyatakan sembuh dan 22.138 pasien atau 2.97% terkonfirmasi meninggal. Penyebaran wabah COVID-19 mengakibatkan efek domino bagi semua sektor yang berawal dari persoalan kesehatan ke persoalan sosial, ekonomi, hingga politik. Hasil pengamatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada 1.548 responden yang tersebar di 32 provinsi, mengungkapkan lebih dari 50 persen responden menghadapi kesulitan keuangan imbas dari pandemi COVID-19. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diimplementasikan pemerintah dalam upaya percepatan penanganan COVID-19 menjadi salah satu faktor perlambatan laju ekonomi selama pandemi berlangsung. Ruang gerak masyarakat yang dipersempit dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari berdampak pada pemenuhan kebutuhan hidup. Meskipun demikian, physical distancing yang diterapkan pemerintah bukanlah tanpa alasan. Dengan semakin banyak masyarakat yang tetap tinggal di rumah, maka akan mengurangi penularan wabah COVID-19 secara masif (Lestary et al, 202y). Pemerintah Indonesia melaksanakan berbagai upaya untuk menghadapi pandemi, salah satunya dengan diterbitkanya Perppu Nomor 1 Tahun 202y untuk memberi landasan hukum bagi pemerintah dalam menetapkan kebijakan dan langkah luar biasa atau extraordinary akibat pandemi COVID-19. Langkah-langkah tersebut diterapkan di bidang keuangan negara dan sektor keuangan dalam upaya penanganan krisis kesehatan, kemanusiaan, ekonomi, dan keuangan.
Pembagian bantuan sosial yang diberikan pemerintah untuk masyarakat Indonesia bukanlah suatu hal baru. Beragam skema bantuan sosial serta subsidi telah dilaksanakan pemerintah untuk mencukupi hak dasar, meringankan tanggungan, dan memperbaiki tingkat hidup warga negara yang kurang berkecukupan. Hal ini sejalan dengan teori welfare state, merujuk dari Alfitri (2012) konsep welfare state dalam Encyclopedia Britannica yakni terkait tanggung jawab negara sebagai garda terdepan dalam melindungi serta memakmurkan kesejahteraan ekonomi dan sosial rakyatnya.
Permasalahan penyaluran Bansos di tahun 202
Mengutip Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (202y) bahwasanya, selama ini kendala yang sering terjadi dalam skema bantuan sosial ialah ketidaktepatan target penerima bantuan. Santoso et al (202x) memaparkan ketidaktepatan target penerima acapkali ditemui saat mendistribusikan bantuan ke lapangan. Lebih lanjut Mufidah (202y) menyatakan bahwa beraneka ragam jenis bantuan sosial yang diadakan Pemerintah Pusat dan alur administrasi penyaluran bantuan sosial yang memusingkan membuahkan kekacauan seperti kesimpangsiuran
informasi akan akses penerimaan bantuan sosial yang beredar di masyarakat. Tidak hanya itu, klasifikasi yang tidak sesuai dengan target dan jangka waktu pendistribusian bansos yang tidak serempak menjadi permasalahan yang tidak kunjung berakhir. Bantuan sosial sepanjang pandemi COVID-19 berlangsung juga belum merangkul kelompok masyarakat yang sebelum adanya pandemi termasuk golongan masyarakat mampu, namun saat terjadi pandemi harus kehilangan penghasilan hingga kehilangan pekerjaannya (Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, 202y). Menteri Keuangan menekankan terdapat empat sektor yang paling terguncang dampak pandemi COVID-19, yakni bidang rumah tangga, karyawan lepas, UMKM, dan perusahaan atau badan usaha. Dari beberapa sektor tersebut, karyawanlah yang paling sensitif untuk kehilangan penghasilannya. Pemerintah memiliki beberapa kebijakan untuk melindungi perekonomian rakyat melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk penanganan pandemi Covid-19 (Sugiarto, 202y). Tak hanya berfokus pada pemberian sembako saja, bersama Kementerian Keuangan pemerintah pusat menciptakan sejumlah skema JPS atau Social Safety (Adhiyasa, 202y). Bersumber dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pemerintah pusat telah mengerahkan berbagai bentuk dan jenis kebijakan bantuan sosial dalam upaya menyelamatkan ketahanan ekonomi masyarakat dalam menghadapi kondisi pandemi meliputi: (1) Program Keluarga Harapan (PKH); (2) Bantuan Sosial Tunai; (3) Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT Dana Desa); (4) Bantuan Sosial Sembako (BSS) untuk Wilayah Jabodetabek; (5) Kartu prakerja; (6) Kartu sembako; dan (7) Subsidi listrik.
Adapun daftar hasil pemetaan permasalahan yang terjadi adalah (1) Pungutan Liar (Pungli) terjadi pada PKH dan BLT Dana Desa; (2) Tidak tepat sasaran terjadi pada PKH, Bantuan Sosial Tunai, BLT Dana Desa dan subsidi listrik; (3) Nominal atau jumlah bantuan kecil terjadi pada PKH, Sembako dan Kartu Pra Kerja; (4) Tumpang tindih data terjadi pada Bantuan SOsial Tunai dan Kartu Sembako; (5) Distribusi terhambat terjadi pada Bantuan SOsial Tunai; (6) Politisasi terjadi pada BLT Dana Desa; (7) Kualitas bantuan rendah terjadi pada Sembako; (8) Penyalah-gunaan dana terjadi pada Sembako; (9) Insentif tidak cair terjadi pada Kartu Pra Kerja; (10) Human error terjadi pada Kartu Sembako; (11) Karakteristik permasalahan lainnya terjadi pada SUbsidi listrik; dan (12) Jenis bantuan tidak tepat terjadi pada subsidi listrik.
Berdasarkan hasil pemetaan pada Tabel di atas, teridentifikasi ketidaktepatan sasaran menjadi permasalahan utama yang sering muncul di hampir setiap program bantuan sosial yang diberikan pemerintah. Ketidaktepatan sasaran disebabkan karena data yang tidak terupdate secara rutin baik di tingkat daerah maupun pemerintah pusat. Sejalan dengan hal tersebut, merujuk hasil riset Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) yang dilaksanakan per tanggal 5 s.d. 6 Mei 202y, diketahui 49% responden menilai bantuan sosial masih belum tepat sasaran. Sementara hanya 37% responden yang menilai bansos pemerintah sudah mencapai sasaran. Data tersebut menunjukan bantuan sosial yang disalurkan pemerintah untuk penanganan COVID-19 di Indonesia belum berjalan dengan maksimal.
Alasan responden menilai bansos COVID-19 tidak tepat sasaran adalah (1) Ada yang berhak namun belum menerima sebanyak 60%; (2) Bantuan sosial diberikan kepada yang tidak berhak sebanyak 29%; (3) Besaran bantuan sosial yang diberikan terlalu kecil dari seharusnya sebanyak 4%; (4) Permasalahan lainnya sebanyak 5%; dan (6) Tidak menjawab sebanyak 2%.
Sejalan dengan survei SMRC, hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) dimulai dari 2 Juni hingga 31 Agustus 202y mendeteksi beberapa kendala dan presumsi penggelapan bansos COVID-19 yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebagai mana berikut : (1) Pemotongan atau Pungli 19,25%; (2) Inclusion error 17,99%; (3) Bantuan tidak didapatkan Warga 9,62%; (4)Tumpang tindih bantuan 8,79%; (5) Pendistribusian bantuan terhambat 4,60%; (6) Politisasi 3,77%; (7) Kulaitas sembako tidak memenuhi syarat 0,84%; (8) Penyalahgunaan lainnya 16,32% dan; (9) Non penyalahgunaan 18,82%.
Permasalahan penyaluran Bansos di tahun 202z
Bantuan Sosial tetap digulirkan bagi Masyarakat Terdampak PPKM PPKM Level 4 yang berlaku mulai 26 Juli sampai dengan 2 Agustus 202z, dan membawa perbaikan pada ratarata harian indikator pengendalian COVID-19 di tingkat nasional dibandingkan pada PPKM periode sebelumnya (ekon.go.id, 2 Agustus 202z). Namun melihat situasi saat ini sangat dinamis dan indikator tersebut masih fluktuatif, maka pemerintah memutuskan untuk melanjutkan PPKM hingga 16 Agustus 202z di beberapa kabupaten/kota tertentu dengan penyesuaian pengaturan aktivitas dan mobilitas masyarakat sesuai kondisi masing-masing daerah. Kebijakan perpanjangan PPKM Level 4 diikuti dengan percepatan penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat yang terdampak. Sejak penerapan PPKM Level 4 pemerintah telah menyalurkan delapan jenis bantuan sosial, yaitu: 1) Kartu Sembako, pemerintah menambah manfaat Kartu Sembako sebesar Rp200.000 selama dua bulan untuk 18,8 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM); 2) BST yang diperpanjang penyalurannya dua bulan, yakni Mei-Juni untuk 10 juta KPM; 3) Subsidi kuota internet bagi pelajar dan tenaga pendidik dilanjutkan hingga akhir tahun 202z; 4) Diskon listrik dan bantuan rekening minimum biaya beban/abonemen selama tiga bulan (Oktober-Desember); 5) Kartu Prakerja dan bantuan subsidi upah bagi pekerja yang tercatat di BPJS Ketenagakerjaan; 6) Bantuan beras; 7) BLT Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM); dan 8) Bantuan untuk pengusaha berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas sewa toko di pusat perbelanjaan atau mal (kompas.com, 26 Juli 202z).
Upaya lain yang telah dilakukan pemerintah, selain bantuan sosial, pemerintah juga memberikan bantuan sosial ekstra bagi masyarakat terdampak PPKM seperti BST dan Bantuan Beras. Namun penyaluran bantuan sosial masih menghadapi permasalahan sehingga muncul tuntutan untuk memperbaiki sistem penyalurannya. Ketidakakuratan data selalu menjadi persoalan klasik di setiap penyaluran bantuan sosial. Sumber daya pendukung juga belum mampu beradaptasi dengan situasi pandemi COVID-19. Koordinasi antar lembaga dan pengawasan penyaluran bantuan sosial masih lemah sehingga membuka celah korupsi. Dampak lain dari ketidakvalidan data penerima bansos terungkap warga menemukan penerima bansos yang sudah lama meninggal, pindah domisili kependudukan, hingga sudah menjadi ASN masih tercatat menerima bansos. Sebaliknya, banyak warga dengan tingkat kesejahteraan lebih membutuhkan bantuan justru luput dari penyaluran bansos (exclusion error).
Kementerian Sosial (Kemensos) pada saat itu menyebut bahwa kesemrawutan data penerima bansos dikarenakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menjadi acuan penyaluran bansos belum dimutakhirkan sejak 2017. Problem lain, pemerintah kabupaten/kota juga tak disiplin dalam melakukan verifikasi dan validasi secara reguler.
Masalah pendataan bansos diperparah dengan terjadinya korupsi, bahwa bansos yang selayaknya untuk membantu warga miskin justru menjadi sasaran korupsi sejumlah pejabat di Kemensos, begitu pula sampai tahun 202z bulan agustus masih ada kasus pemotongan dana bantuan sosial bagi masyarakat terdampak PPKM. Di Kelurahan diwilayah jabodetabek sejumlah warga RW 05 melaporkan Bantuan Sosial Tunai (BST) yang diterima telah dipotong Rp50.000, Demikian juga di Kelurahan lainnya, warga melaporkan dugaan pemotongan BST mencapai ratusan ribu rupiah yang dilakukan pengurus lingkungan (liputan6.com, 5 Agustus 202z). Begitu juga yang terjadi di Ibukota di RT 007/RW 010. Menteri Koordinator PMK menemukan masalah penyaluran bansos yang tidak merata, banyak warga di wilayah tersebut memerlukan bansos dan sangat layak mendapatkan bantuan sosial, tetapi belum mendapatkan bansos reguler. Selain itu, ada beberapa warga telah memiliki Kartu Kesejahteraan Keluarga (KKS), tetapi sejak awal tahun mengatakan bantuannya tidak ada lagi.
No comments:
Post a Comment